stop

Suara Semesta, Cirebon Kabupaten

Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024, mulai 2029, penyelenggaraan Pemilu akan dipisahkan antara Pemilu nasional dan pemilu daerah. Keputusan ini dinilai belum memberi solusi dari persoalan demokrasi elektoral.

Tujuan dari pemisahan ini adalah untuk menciptakan pemilu yang lebih berkualitas serta mempermudah pemilih dalam menyalurkan hak suaranya. Menanggapi hal ini, Egi Gunawan, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance, Election and Political Party menyatakan bahwa pemisahan waktu pemilu belum menjawab persoalan demokrasi elektoral dan berpotensi bertentangan dengan UUD. Tentu dalam tradisi pemikiran demokrasi modern, sebagai contoh bisa kita ambil, Robert A. Dahl dalam On Democracy (1998), mensyaratkan bahwa demokrasi haruslah terdiri atas dua elemen utama; participation dan contestation. Artinya bahwa warga negara tifak hanya diberi kesempatan untuk memilih secara periodik-sistemik, melainkan harus dapat dan melahirkan proses yang adil, kompetitif, dan berlangsung pada waktu yang pasti.

Hal tersebut, bisa kita ambil contoh seperti negara-negara demokrasi, Jerman dan India. Dimana kedua negara tersebut berusaha penuh dalam menjaga lima tahun sebagai jabatan lembaga legislatif, sebagai mana tertuang dalam konstitusi mereka; Grundgesetz, Jerman pada pasal 39 ayat 1, dan Constitution of India, article 83 dan 172.

CIGEPP merupakan lembaga non pemerintah yang berbasis di Jakarta Pusat, yang bergerak dalam bidang kajian mengenai tata kelola pemerintahan, pemilu, partai politik, pendidikan politik, dan demokrasi.

Lanjut Egi, bahwa putusan ini adalah koreksi yang krusial terhadap desain pemilu serentak yang selama ini dianggap terlalu padat, kompleks, dan membebani penyelenggara.

“Namun putusan ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur pemilu serentak lima tahunan. Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah seharusnya dilakukan melalui amandemen UUD, bukan melalui uji materi UU,” ujarnya, Kamis (3/7/2025).

Selain itu, keputusan ini berisiko memperpanjang siklus politik yang intens-kompleks dan dapat menciptakan fragmentasi politik antara pusat dan daerah. “CIGEPP mengusulkan agar jadwal dan mekanisme pemilu disesuaikan supaya tetap sejalan dengan prinsip yang ada dalam UUD 1945,” tegasnya.

Keputusan ini menjadi momentum penting bagi DPR untuk segera melakukan pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada secara bersamaan. “Meskipun sebelumnya ada wacana untuk membahasnya secara terpisah, kini pembahasan tersebut harus dilakukan dalam satu paket melalui metode kodifikasi,” ungkapnya.

Langkah ini diharapkan dapat menciptakan keseragaman dan efisiensi dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Pemerintah dan pembentuk undang-undang perlu segera mungkin melakukan revisi dan sinkronisasi sejumlah UU terkait untuk mengakomodasi putusan MK ini, termasuk penyesuaian masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah.

“Keputusan ini  berpotensi memperpanjang periode ketegangan politik di grassroots. Dengan pemisahan pemilu nasional dan daerah, periode politik yang intens-kompleks bisa menjadi lebih lama, menciptakan ketidakpastian, fragmentasi antara pusat dan daerah, bahkan dapat memperpanjang usia "leviathan" dalam wajah pemerintahan daerah,” paparnya.

Meskipun putusan MK ini memberikan angin segar dalam hal teknis. Sayangnya pemisahan waktu pemilu belum sepenuhnya menjawab persoalan mendasar dalam demokrasi elektoral kita. “Euforia efisiensi teknis tidak boleh mengalihkan perhatian dari isu-isu substansial yang harus diselesaikan, seperti politik uang, pendidikan politik yang berkelanjutan, dan transparansi dana kampanye,” Pungkasnya.

Penulis : Egi
Baca Juga

Post A Comment:

0 comments: