Suara Semesta | Kabupaten Cirebon, Nasi Jamblang (dalam bahasa Cirebon: Sega Jamblang ) merupakan salah satu kuliner khas Cirebon yang menjadi favorit para wisatawan. Banyak yang beranggapan bahwa kunjungan ke Cirebon belum lengkap tanpa syarat kelezatan nasi Jamblang, lengkap dengan beragam lauk pauknya.
Bagi masyarakat Cirebon, nasi Jamblang tentu sudah tidak asing lagi. Bahkan sebagian besar dari kita mungkin telah merasakan kelezatannya. Lauk pauknya yang bervariasi — mencapai hampir 30 jenis — antara lain sambal goreng, tahu goreng, tempe goreng, perkedel kentang, dendeng bistik, telur dadar, telur ceplok, bistik hati sapi, sate telur puyuh, otak sapi, sate kentang, cemplung, dan masih banyak lagi.
Dalam kesempatan ini, Suara Semesta menyajikan riwayat singkat sejarah lahirnya kuliner nasi Jamblang, yang disusun oleh Bapak Moh. Aminudin Sadali dari Blok Sidapurna, Desa Kasugengan Kidul, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon. Kisah ini bersumber dari wawancara bersama Bapak Drs. H. Nurkaya Hadisusilo, putra dari Ibu Jenah (cicit dari H. Abdulatif dan Nyi Pulung), yang dilakukan pada 17 Juni 2007 di Jamblang.
Awal Mula Nasi Jamblang
Pada tahun 1847, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun pabrik gula di Gempol dan Plumbon serta pabrik spiritus di Palimanan (pada tahun 1883). Pembangunan pabrik-pabrik tersebut memicu kebutuhan tenaga kerja dalam jumlah besar di wilayah Kawedanan Palimanan, Plumbon, dan sekitarnya.
Para buruh yang bekerja di pabrik dan perkebunan tebu, terutama dari wilayah selatan seperti Sindang Jawa, Cisaat, Cimara, Cidahu, Ciwiru, Cikalahang, Bobos, dan Lengkong, harus berjalan kaki sejak pagi buta dari rumah mereka. Banyak di antara mereka yang belum sempat sarapan.
Melihat kebutuhan ini, Nyi Tan Piauw Lun — yang dikenal sebagai Nyi Pulung — tergerak untuk membantu. Ia adalah istri dari H. Abdulatif (juga dikenal sebagai Ki Antra), seorang pengusaha pribumi yang cukup sukses. H. Abdulatif sendiri merupakan keturunan Ki Buyut Kebagusan dari Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, dan memiliki berbagai usaha seperti jagal sapi/kerbau, pandai besi, dan pertanian.
Pada masa itu, menjual nasi dianggap pamali atau tabu. Uang masih terbatas dan banyak masyarakat lebih memilih menyimpan padi atau beras daripada uang. Bagi mereka, "tidak punya uang tidak apa-apa, tapi jika tidak punya beras akan menderita."
Nyi Pulung yang biasa menyiapkan sarapan bagi para pekerjanya, melihat para buruh pabrik kebingungan mencari makanan. Maka, ia mulai membagikan nasi bungkus secara cuma-cuma kepada mereka. Kebaikannya ini menyebar dari mulut ke mulut hingga menambah banyak buruh yang datang. Meski awalnya menolak bayaran, Nyi Pulung akhirnya menerima imbalan seikhlasnya dari para buruh, karena mereka sadar bahwa makanan yang mereka terima harus dibeli.
Awal Jenis Lauk dan Pembungkus Daun Jati
Pada mulanya, nasi Jamblang hanya disajikan dengan tiga macam lauk:
• Ampas kecap atau tauco (kedelai hitam),
• Tempe goreng,
• Tahu goreng.
Ciri khas nasi Jamblang adalah pembungkusnya yang menggunakan daun jati . Awalnya, Nyi Pulung menggunakan daun pisang batu (gedang klutuk). Namun karena banyak buruh dari selatan membawa daun jati untuk pelindung kepala dari panas dan hujan, dan karena permintaan daun pisang meningkat, akhirnya Nyi Pulung beralih ke daun jati.
Ternyata, daun jati tidak mudah robek, menjaga nasi tetap segar, dan memberikan aroma khas yang memperkaya rasa. Sejak sekitar tahun 1907, Nyi Pulung mulai memesan daun jati dalam jumlah besar melalui Kadipaten. Daun-daun ini dikirim menggunakan kereta api yang berhenti di Stasiun Jamblang (yang kini sudah tidak ada lagi, lokasinya di selatan Griya Jamblang).
Perkembangan Nasi Jamblang
Masuki tahun 1930-an, pedagang nasi Jamblang semakin menjamur. Mereka mulai menyesuaikan lauk pauk dengan selera pembeli. Kini, nasi Jamblang dikenal dengan puluhan jenis lauk yang menggiurkan.
Disebut Sega Jamblang karena berasal dari daerah Jamblang, nasi ini kini sudah menyebar luas. Banyak pedagang dari luar Jamblang bahkan menjajakan kuliner ini hingga ke Jakarta dan Bandung.
Penutup
Apabila pembaca memiliki informasi yang lebih akurat atau ingin melengkapi sejarah nasi Jamblang, silakan tuliskan di kolom komentar atau hubungi tim Suara Semesta . Semoga kisah ini menjadi referensi berharga, khususnya bagi para pedagang nasi Jamblang, dan umumnya bagi masyarakat Cirebon dalam mengenal lebih jauh dalam kuliner tradisional khas daerahnya.
(Nur Hadi Kusuma)
Post A Comment:
0 comments: